Ketika Satu Pintu Tertutup, Tuhan Membukakan Gerbang Lain, Cerita di Balik Awardee Terbaik Komdigi 2025
"Terkadang Tuhan mematahkan hatimu untuk menyelamatkan jiwamu. Dia menutup satu pintu, bukan karena Dia tidak menyayangimu, tapi karena Dia tahu, pintu itu tidak mengarah pada tempat di mana kamu seharusnya bersinar."
Hari itu seharusnya menjadi hari yang berat.
Pagi harinya, notifikasi email masuk ke ponselku. Jantungku berdebar kencang saat membukanya. Itu adalah pengumuman dari sebuah seleksi yang sudah lama aku impikan dan persiapkan dengan matang. Mataku menyusuri baris demi baris kalimat baku itu, mencari kata "Selamat", namun yang kutemukan adalah kata-kata sopan yang intinya: "Mohon maaf, Anda belum lolos."
Rasanya? Jangan ditanya. Kecewa, pasti. Ada rasa ragu yang tiba-tiba menyelinap, "Apa aku kurang kompeten? Apa usahaku belum cukup?" Manusiawi sekali rasanya ketika kita merasa dunia runtuh sejenak saat penolakan itu datang.
Aku mencoba menata hati, menarik napas panjang, dan berkata pada diri sendiri, "Ya sudah, mungkin bukan rezekinya."
Namun, siapa sangka skenario Tuhan se-plot twist itu?
Di hari yang sama, hanya berselang beberapa jam setelah kabar penolakan itu, sebuah pesan lain masuk. Kali ini bukan penolakan. Kali ini adalah sebuah undangan resmi dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Aku membacanya berulang-ulang, takut salah baca.
Undangan Menghadiri AI Talent Day & Graduation 2025 sebagai Penerima Penghargaan: Awardee Beasiswa Komdigi Berprestasi 2025.
Detik itu juga, air mataku yang tadinya hampir jatuh karena sedih, berubah menjadi air mata haru. Di saat satu pintu tertutup rapat di depan wajahku, Tuhan ternyata sedang menggelar karpet merah di pintu yang lain. Pintu yang bahkan tidak pernah berani aku bayangkan akan terbuka selebar ini.
Perjalanan Menembus Batas (Fisik)
Drama belum selesai di situ. Menjelang keberangkatan ke Jakarta untuk menerima penghargaan, tubuhku justru memberi sinyal SOS.
Mungkin karena kelelahan mengerjakan tesis, mengurus si kecil, ya aku seorang single mom, dan tumpukan deadline, pertahananku jebol. Aku terserang "paket lengkap", masuk angin, batuk parah, dan pilek yang menyiksa. Kepala rasanya berat sekali, badan menggigil, tapi hati ini hangat oleh semangat.
Bayangkan, aku harus naik pesawat, menempuh perjalanan Surabaya-Jakarta, dengan kondisi hidung mampet dan tisu di tangan kiri, sementara tangan kanan menyeret koper berisi baju formal dan jas kebanggaan.
Di pesawat, aku cuma bisa berdoa, "Ya Allah, kuatkan sebentar saja. Izinkan aku berdiri tegak di panggung nanti. Jangan sampai aku batuk saat menerima piala."
Tapi ujian sesungguhnya bukan saat berjalan menyeret koper atau menahan pusing di pesawat. Ujian mental terberat justru ada di rundown acara.
Ternyata, aku bukan hanya datang sebagai penerima penghargaan. Di acara sebesar itu, di hadapan Pak Wamen dan para pakar digital, aku juga didapuk menjadi narasumber sesi Talkshow.
Bayangkan paniknya. Seorang Public Speaker yang "senjatanya" adalah suara, tiba-tiba harus tampil dengan kondisi tenggorokan gatal, hidung mampet, dan suara yang kalau boleh jujur lebih mirip suara robot kehabisan baterai daripada suara presenter profesional. Suara bindeng khas orang flu berat.
Di belakang panggung, aku terus-menerus merapalkan doa sambil meneguk air hangat. "Tuhan, tolong jangan biarkan aku batuk di tengah kalimat. Tolong biarkan suaraku keluar jernih, setidaknya selama durasi talkshow saja."
Ketakutan itu nyata. Takut terlihat tidak prima, takut nada bicaraku terdengar aneh, takut mengecewakan mereka yang sudah percaya.
Momen di The Luxus Grand Ballroom
Sesampainya di venue acara, The Luxus Grand Ballroom Kemayoran, segala rasa sakit itu seolah hilang sejenak tertutup oleh adrenalin.
Namun, begitu MC memanggil namaku dan lampu sorot mengarah ke wajahku, sebuah keajaiban kecil terjadi. Adrenalin mengambil alih. Rasa sakit di tenggorokan seolah "dibius" sementara. Aku bicara, menjawab pertanyaan, dan berbagi pandangan tentang AI dan PR dengan energi yang entah datang dari mana.
Mungkin suaraku memang masih terdengar agak bindeng, tapi semangatku hari itu jauh lebih nyaring daripada sakitku.
Melihat namaku, Olivia Ridheta Citrawijaya, dipanggil ke atas panggung di hadapan jajaran pimpinan Komdigi, rasanya surreal. Aku, seorang ASN Kementerian Keuangan yang "nyasar" kuliah Komunikasi, seorang ibu yang membagi waktu antara mengasuh dan jurnal ilmiah, berdiri di sana sebagai yang terbaik.
Penghargaan ini bukan sekadar piala. Ini adalah validasi atas malam-malam panjang riset tentang AI dan Public Relations. Ini adalah apresiasi untuk setiap halaman buku yang kutulis di sela kesibukan.
Hikmahnya?
Pulang dari Jakarta (masih dengan sisa-sisa flu), aku merenung.
Kalau saja pagi itu aku lolos di seleksi yang pertama, mungkin aku tidak akan merasakan kebahagiaan yang meledak-ledak saat menerima undangan Komdigi. Mungkin rasanya akan biasa saja.
Tuhan membiarkan aku merasakan "jatuh" dulu di pagi hari, supaya aku bisa benar-benar bersyukur saat "diangkat" di sore harinya.
Untuk teman-teman yang sedang merasa gagal, ditolak, atau merasa jalannya buntu: Tunggu sebentar. Ceritamu belum selesai. Bisa jadi, penolakan itu adalah cara Tuhan menyuruhmu berbelok ke arah yang jauh lebih indah.
Terima kasih, 2025. Kamu penuh kejutan.
Ditulis dengan ditemani obat flu dan hati yang penuh syukur. - Olivwijayaa
terimakasih untuk seluruh media yang telah meliput
https://www.suaratime.com/2025/12/srikandi-kemenkeu-raih-gelar-awardee.html
https://wartatimes.com/harumkan-nama-unair-mahasiswa-fisip-sabet-gelar-awardee-berprestasi-nasional-dari-kementerian-komdigi/
https://radarbaru.com/mahasiswa-pascasarjana-unair-olivia-ridheta-citrawijaya-dinobatkan-sebagai-awardee-beasiswa-komdigi-berprestasi-2025/



